PJI Persoalkan Aturan Impunitas Jabatan Notaris

By admin on 2020-02-17

JAKARTA-PJI dan jaksa senior meminta agar frasa “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 dinyatakan bertentangan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dianggap menghambat proses peradilan, Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dan beberapa Jaksa, seperti Asep N Mulyana, Reda Manthovani, R. Narendra Jatna mempersoalkan penerapan Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris terkait pemeriksaan proses peradilan yang melibatkan notaris.

Sebab, aturan itu mensyaratkan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) untuk mengambil minuta akta/protokol notaris atau memanggil notaris oleh aparat penegak hukum demi kepentingan proses peradilan. Guna menyalurkan aspirasi jaksa-jaksa seluruh Indonesia, PJI dan beberapa jaksa senior itu resmi mendaftarkan pengujian Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris di Kepaniteraan MK, Senin (10/2/2020).      

“Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris bertentangan dengan konstitusi dan menimbulkan permasalahan dalam implementasinya,” ujar Tim Asistensi PJI Rudi Pradisetia Sudirdja saat dikonfirmasi hukumonline belom lama ini.

Rudi menerangkan frasa/kalimat “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, MKN memiliki kewenangan mutlak dan final untuk menyetujui atau tidak menyetujui pemanggilan notaris untuk hadir dalam pemeriksaan perkara yang menghambat proses penanganan perkara. Tak hanya itu, bahkan penyidik, penuntut umum, ataupun hakim yang ditolak MKN ketika memanggil notaris, tidak dapat melakukan upaya hukum.  

“Frasa tersebut menjadikan jabatan notaris profesi kebal hukum melalui (perlindungan, red) MKN yang seolah telah menjelma sebagai lembaga impunitas. Notaris yang diduga melakukan tindak pidana atau sekedar menjadi saksi akan berlindung di bawah naungan MKN untuk menghindari kewajiban hukum yang melekat setiap warga negara,” jelasnya.

Selain itu, frasa tersebut bertentangan dengan sejumlah asas/prinsip hukum, seperti equality before the law yang diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; asas equality of arms (persamaan kedudukan); nondiskriminasi yang  bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; dominus litis (penguasa perkara) yang melekat pada jaksa; peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan.  

“Frasa itu telah menyulitkan jaksa karena menjadikan syarat mendapat persetujuan MKN terlebih dahulu sebelum menghadirkan saksi/tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana. Tentu ini telah bertentangan dengan prinsip peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan dalam Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman,” tegasnya. 

Dia mengingatkan pasal impunitas jabatan notaris melalui MKN seperti diatur Pasal 66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004 ini sebenarnya sudah diputus melalui Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 yang dibacakan pada 28 Mei 2013 silam. Dalam putusan itu, MK menyatakan  frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004, dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Artinya, Putusan MK No. 49/PUU-X/2012 itu sudah menyatakan pemeriksaan proses hukum yang melibatkan notaris tak perlu persetujuan Majelis Pengawas Daerah (MPD). Ketentuan itu dinilai MK mempengaruhi tugas penegakan hukum oleh advokat, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang berujung hilangnya independensi proses peradilan. Namun, bukannya pasal tersebut dihapus, malah diatur kembali melalui UU No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. 

“UU Jabatan Notaris yang baru hanya sekedar ‘berganti pakaian’ dari Majelis Pengawas Daerah menjadi Majelis Kehormatan Notaris.” 

Atas dasar itu, PJI meminta Majelis MK menyatakan Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris sepanjang frasa/ kalimat “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” bertentangan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.  

“Karena itu, Pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris harus dibaca: Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris’,” demikian bunyi petitum permohonan ini.

Untuk diketahui, pengujian Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 ini pun sebenarnya pernah dimohonkan pengujian oleh seorang advokat bernama Tomson Situmeang. Dia mempersoalkan Pasal 66 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU No. 2 Tahun 2014, khususnya frasa “dengan persetujuan Majelis Kehormatan Notaris” terkait pemeriksaan proses peradilan yang melibatkan notaris. Alasannya, ketentuan serupa pernah dibatalkan MK melalui uji materi Pasal 66 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2004, khususnya frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah.”

Namun, melalui putusan bernomor 72/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada Rabu (26/8/2015) silam, permohonan ini dinyatakan tidak dapat diterima dengan dalih pemohon tidak memiliki kedudukan hukum. Alasannya, Mahkamah tidak menemukan adanya kerugian pemohon baik secara nyata maupun potensial dengan berlakunya pasal yang dimohonkan pengujian. Bagi Mahkamah, pemohon yang berprofesi sebagai advokat justru telah dijamin dan dilindungi haknya dengan keberadaan Majelis Kehormatan Notaris ini.  ( HO / Muzer )