Perlukah Pembuktian Tindak Pidana Asal dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ( Muhammad. Akbar PPPJ 76

By 2 on 2019-10-14

Dalam praktik penegakan hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) seringkali dipahami berbeda perihal pembuktiannya, antara perlu  atau tidak perlunya terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya (predicate offences). Misalkan dalam suatu tindak pidana asalnya berupa tindak pidana korupsi, maka perbuatan menyembunyikan,menyamarkan, atau menggelapkan hasil kejahatan korupsinya, niscaya tidak menjadi prasyarat harus terlebih dahulu terbukti tindak pidana korupsinya.

Pada hakikatnya perkembangan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang tidak menjadi kewajiban untuk pembuktian tindak pidana asal, atau dengan kata lain proses hukum atas tindak pidana tersebut tidak menjadi harus dipisah (splitsing) sembari menunggu predicate crime-nya terbukti berdasarkan putusan pengadilan inkrah.

Perubahan Undang-Undang TPPU 2002 menjadi Undang-Undang TPPU 2003, kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang TPPU 2010 dilakukan dengan beberapa alasan, yaitu: Pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multiinterpretasi, banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam hal pembuktian. Kedua, kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi serta bentuk-bentuk sanksinya. Ketiga, masih terbatasnya pihak pelapor yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis laporannya. Keempat, tidak adanya landasan hukum mengenai perlunya penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (Costumer Due Deligence) oleh pihak pelapor, yang ada hanya Know Your Costumer (KYC).

Kelima, terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penafsiran serta penyitaan aset hasil kejahatan dan terbatasnya kewenangan PPATK. Keenam, hukum acara pemeriksaan TPPU dengan metode pembalikan beban pembuktian belum memadai sehingga menghambat efektivitas pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketujuh, masih terbatasnya wewenang penyidik tindak pidana asal untuk melanjutkan penyidikan atas dugaan tindak pidana pencucian uang. Kedelapan, belum ada kewajiban laporan lembaga penyedia jasa keuangan dan barang yang diikuti dengan sanksi, dan belum ada perlindungan hukum yang memadai bagi pelapor dan lembaga dimaksud.

Kesembilan, berdasarkan rating Asia Pasific Group on Money laundering bulan juli 2008 di Bali, pemberantasan TPPU di Indonesia menempati Level of Compliance yang rendah baik dalam memenuhi 40 butir rekomendasi dan 9 butir rekomendasi dalam Suspicious Transaction Report (STR).

Dalam konteks itu kemudian atas tindak pidana pencucian uang yang tidak wajib membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya selain didasari oleh filosofi perubahan Ungang-Undang TPPU sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terutama pada alasan keenam dan ketujuh. Ringkasnya Undang-Undang TPPU 2010 telah mengunci dengan jelas tentang hal itu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 69: “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.”

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pasal a quo tersebut memiliki basis argumentasi yang dapat dipertahankan hingga saat ini? Penulis berpendapat bahwa hal tersebut tetap layak untuk dipertahankan dengan alasan teoritik dan yuridis, yaitu: Pertama, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa dari sisi original intent, tindak pidana asal masih bertumpu pada segi perbuatan dan pembuatnya (daad – dader strafrecht), sementara objek tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diduga berasal atau diperoleh dari tindak pidana asal.

Perbedaan objek kedua tindak pidana tersebut berdampak terhadap pembuktian secara normatif, yaitu pembuktian atas tindak pidana asal (terhadap perbuatan dan kesalahan pembuatnya), sedangkan pembuktian atas harta kekayaan dalam TPPU adalah pada perolehan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Dengan dianutnya perbedaan mengenai pembuktian perihal objek perbuatan tersebut atau dengan kata lain berbeda konteks perbuatan objektifnya, membawa pada konsekuensi tidak wajib menunggu terbukti tidaknya tindak pidana asalnya.

Kedua, sejalan dengan alasan pertama di atas, antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang tidak memiliki satu kehendak jahat atau means rea yang sama dikarenakan kehendak melakukan tindak pidana asal yang diwujudkan dalam perbuatannya berbeda dengan kehendak untuk melakukan TPPU yang secara normatif tercermin dari rumusan ketentuan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang TPPU 2010. Atas dasar itu, maka TPPU tidak termasuk tindak pidana berlanjut (vorgezette handeling). Ketiga tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana perbarengan yang berdiri sendiri, sekalipun ada hubungan satu sama lain. Artinya, karena masing-masing berdiri sendiri bentuk perbuatannya, tidak wajib  dibuktikan tindak pidana asalnya.

Keempat, seringkali seseorang memahami TPPU pasif (Pasal 5) identik dengan Pasal 480 KUHP  (penadahan). Bahwa dikarenakan Pasal 480 KUHP dapat menjerat seorang penadah tanpa perlu mengetahui asal-usul benda tersebut diperoleh dari tindak pidana. Pasal 480 KUHP dengan Pasal 5 UU TPPU tidak dapat disejajarkan, mengingat Pasal 480 KUHP merupakan delik selesai yang memang tidak memiliki kejahatan asal sebagai hal yang perlu dibuktikan sebagaimana dalam TPPU. Walaupun alasan ini, sulit diterima, namun UU TPPU terkonstruksi sebagai kejahatan serius yang tidak lain bertujuan mengikuti dan membuntuti hasil kejahatan seseorang, maka dengan prinsip itikad baik menjadi alasan bagi seseorang yang menerima uang dari hasil kejahatan, tentu terlebih dahulu orang yang menerima hasil kejahatan itu harus dibuktikan apakah memiliki niat jahat pula, untuk kemudian dijerat sebagai pelaku TPPU pula.

Kelima, konsekuensi dari tidak perlunya dibuktikan tindak pidana asal atas TPPU berimplikasi pula pada pembuktian TPPU yang menganut pembalikan beban pembuktian. Bahwa terhadap harta kekayaan seseorang yang diduga sebagai pelaku TPPU, maka perlulah kepadanyalah untuk membuktikan asal hartanya tersebut secara terbatas dan seimbang. Dalam teori pembuktian, model pembuktian semacam ini sering dianggap bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dan asas actori incumbit onus probandi, namun perlu diketahui bahwa dibalik pembuktian TPPU tersebut juga tersirat pembebanan kepada seseorang untuk beritikad baik atas sejumlah harta kekayaannya, sehingga kepada yang bersangkutan diperlukan kerja samanya dalam penegakan hukum TPPU.

Keenam, dengan berdasarkan Putusan MK Nomor 77/PUU-XII/2014 pada prinsipnya secara konstitusional masih mempertahakan keberlakuan yuridis Pasal 69 UU TPPU 2010. Dalam konsideran putusan MK a quo dinyatakan bahwa suatu ketidakadilan seseorang yang sudah nyata menerima keuntungan dari tindak pidana pencucian uang tidak diproses pidana hanya karena tindak pidana asalnya belum dibuktikan terlebih dahulu. Rakyat dan masyarakat Indonesia akan mengutuk bahwa seseorang yang nyata-nyata telah menerima keuntungan dari tindak pidana pencucian uang lalu lepas dari jeratan hukum hanya karena tindak pidana asalnya belum dibuktikan lebih dahulu, namun demikian tindak pidana pencucian uang memang tidak berdiri sendiri, tetapi harus ada kaitannya dengan tindak pidana asal. Bagaimana mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya. Apabila tindak pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu maka tidak menjadi halangan untuk mengadili TPPU.

Ketujuh, dengan berdasarkan yurisprudensi, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 254/PIDS/2005 PN. JAK.Sel juga didalam pertimbangan hukumnya dinyatakan “bahwa oleh karena itu terdakwa Lukman Hakim pasti mengetahui atau setidak-tidaknya patut menduga bahwa cek BII yang diserahkan kepada saksi Tonny Cahidir Martawinata tersebut merupakan  harta kekayaan sebagai hasil tindak pidana kejahatan perbankan sebagai tindak pidana asal berasarkan penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 25 Tahun 2003 tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU. Namun melalui persidangan terungkap bahwa Ir. Wahyu Hartanto BS selaku kepala cabang pembantu BII Senen, sedang menjalani persidangan sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dakwaan tindak pidana perbankan sebagai predicate crime dimaksud.

Pada akhirnya pembuktian TPPU tidak perlu pembuktian atas tindak pidana asalnya. Dengan berdasarkan uraian di atas baik secara yuridis maupun secara teoritis sekiranya dapat menjadi penekanan dalam praktik penegakan hukum TPPU tidak lagi terjadi perbedaan kesepahaman. Putusan MK Nomor 77/PUU-XII/2014 merupakan jawaban yang final mengenai keberadaan Pasal 69 UU TPPU atas kesimpangsiuran yang masih terjadi hingga saat ini, perlu atau tidaknya penegakan hukum TPPU menunggu terbuktinya tindak pidana asal melalui putusan pengadilan inkrah. Bagaimanapun demi efektivitas penegakan hukum TPPU dan demi menghindari terjadinya perbedaan putusan pengadilan, sebaiknya dalam penanganan TPPU digabung dengan tindak pidana asalnya. Selain yang demikian menjamin prinsip speed administration, juga lebih memberi kepastian dan perlindungan hak asasi terhadap seseorang yang diduga melakukan TPPU.