Dalam praktik
penegakan hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) seringkali dipahami berbeda
perihal pembuktiannya, antara perlu atau
tidak perlunya terlebih dahulu dibuktikan tindak pidana asalnya (predicate offences). Misalkan dalam
suatu tindak pidana asalnya berupa tindak pidana korupsi, maka perbuatan
menyembunyikan,menyamarkan, atau menggelapkan hasil kejahatan korupsinya,
niscaya tidak menjadi prasyarat harus terlebih dahulu terbukti tindak pidana
korupsinya.
Pada hakikatnya
perkembangan penegakan hukum tindak pidana pencucian uang tidak menjadi
kewajiban untuk pembuktian tindak pidana asal, atau dengan kata lain proses
hukum atas tindak pidana tersebut tidak menjadi harus dipisah (splitsing) sembari menunggu predicate crime-nya terbukti berdasarkan
putusan pengadilan inkrah.
Perubahan Undang-Undang
TPPU 2002 menjadi Undang-Undang TPPU 2003, kemudian diubah kembali dengan Undang-Undang
TPPU 2010 dilakukan dengan beberapa alasan, yaitu: Pertama, kriminalisasi perbuatan pencucian uang yang multiinterpretasi,
banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga menyulitkan dalam
hal pembuktian. Kedua, kurang
sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi
serta bentuk-bentuk sanksinya. Ketiga,
masih terbatasnya pihak pelapor yang harus menyampaikan laporan kepada PPATK
termasuk jenis laporannya. Keempat,
tidak adanya landasan hukum mengenai perlunya penerapan prinsip mengenali
pengguna jasa (Costumer Due Deligence) oleh pihak pelapor, yang ada hanya Know
Your Costumer (KYC).
Kelima,
terbatasnya instrumen formal untuk melakukan deteksi dan penafsiran serta
penyitaan aset hasil kejahatan dan terbatasnya kewenangan PPATK. Keenam, hukum acara pemeriksaan TPPU
dengan metode pembalikan beban pembuktian belum memadai sehingga menghambat
efektivitas pemeriksaan di sidang pengadilan. Ketujuh, masih terbatasnya wewenang penyidik tindak pidana asal
untuk melanjutkan penyidikan atas dugaan tindak pidana pencucian uang. Kedelapan, belum ada kewajiban laporan
lembaga penyedia jasa keuangan dan barang yang diikuti dengan sanksi, dan belum
ada perlindungan hukum yang memadai bagi pelapor dan lembaga dimaksud.
Kesembilan,
berdasarkan rating Asia Pasific Group on Money laundering bulan juli 2008 di
Bali, pemberantasan TPPU di Indonesia menempati Level of Compliance yang rendah
baik dalam memenuhi 40 butir rekomendasi dan 9 butir rekomendasi dalam
Suspicious Transaction Report (STR).
Dalam konteks itu
kemudian atas tindak pidana pencucian uang yang tidak wajib membuktikan
terlebih dahulu tindak pidana asalnya selain didasari oleh filosofi perubahan Ungang-Undang
TPPU sebagaimana yang telah diuraikan di atas, terutama pada alasan keenam dan
ketujuh. Ringkasnya Undang-Undang TPPU 2010 telah mengunci dengan jelas tentang
hal itu, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 69: “untuk dapat dilakukan
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana
asalnya.”
Pertanyaan yang
kemudian muncul adalah apakah pasal a quo
tersebut memiliki basis argumentasi yang dapat dipertahankan hingga saat ini? Penulis
berpendapat bahwa hal tersebut tetap layak untuk dipertahankan dengan alasan
teoritik dan yuridis, yaitu: Pertama,
perlu diketahui terlebih dahulu bahwa dari sisi original intent, tindak pidana
asal masih bertumpu pada segi perbuatan dan pembuatnya (daad – dader strafrecht), sementara objek tindak pidana pencucian
uang adalah harta kekayaan yang diduga berasal atau diperoleh dari tindak
pidana asal.
Perbedaan objek kedua
tindak pidana tersebut berdampak terhadap pembuktian secara normatif, yaitu
pembuktian atas tindak pidana asal (terhadap perbuatan dan kesalahan
pembuatnya), sedangkan pembuktian atas harta kekayaan dalam TPPU adalah pada
perolehan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana. Dengan dianutnya
perbedaan mengenai pembuktian perihal objek perbuatan tersebut atau dengan kata
lain berbeda konteks perbuatan objektifnya, membawa pada konsekuensi tidak
wajib menunggu terbukti tidaknya tindak pidana asalnya.
Kedua,
sejalan dengan alasan pertama di atas, antara tindak pidana asal dan tindak
pidana pencucian uang tidak memiliki satu kehendak jahat atau means rea yang sama dikarenakan kehendak
melakukan tindak pidana asal yang diwujudkan dalam perbuatannya berbeda dengan
kehendak untuk melakukan TPPU yang secara normatif tercermin dari rumusan
ketentuan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang TPPU 2010. Atas dasar
itu, maka TPPU tidak termasuk tindak pidana berlanjut (vorgezette handeling). Ketiga tindak pidana tersebut merupakan
tindak pidana perbarengan yang berdiri sendiri, sekalipun ada hubungan satu
sama lain. Artinya, karena masing-masing berdiri sendiri bentuk perbuatannya,
tidak wajib dibuktikan tindak pidana
asalnya.
Keempat,
seringkali seseorang memahami TPPU pasif (Pasal 5) identik dengan Pasal 480
KUHP (penadahan). Bahwa dikarenakan
Pasal 480 KUHP dapat menjerat seorang penadah tanpa perlu mengetahui asal-usul
benda tersebut diperoleh dari tindak pidana. Pasal 480 KUHP dengan Pasal 5 UU
TPPU tidak dapat disejajarkan, mengingat Pasal 480 KUHP merupakan delik selesai
yang memang tidak memiliki kejahatan asal sebagai hal yang perlu dibuktikan
sebagaimana dalam TPPU. Walaupun alasan ini, sulit diterima, namun UU TPPU terkonstruksi
sebagai kejahatan serius yang tidak lain bertujuan mengikuti dan membuntuti
hasil kejahatan seseorang, maka dengan prinsip itikad baik menjadi alasan bagi
seseorang yang menerima uang dari hasil kejahatan, tentu terlebih dahulu orang
yang menerima hasil kejahatan itu harus dibuktikan apakah memiliki niat jahat
pula, untuk kemudian dijerat sebagai pelaku TPPU pula.
Kelima,
konsekuensi dari tidak perlunya dibuktikan tindak pidana asal atas TPPU
berimplikasi pula pada pembuktian TPPU yang menganut pembalikan beban pembuktian.
Bahwa terhadap harta kekayaan seseorang yang diduga sebagai pelaku TPPU, maka
perlulah kepadanyalah untuk membuktikan asal hartanya tersebut secara terbatas
dan seimbang. Dalam teori pembuktian, model pembuktian semacam ini sering
dianggap bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dan asas actori incumbit onus probandi, namun
perlu diketahui bahwa dibalik pembuktian TPPU tersebut juga tersirat pembebanan
kepada seseorang untuk beritikad baik atas sejumlah harta kekayaannya, sehingga
kepada yang bersangkutan diperlukan kerja samanya dalam penegakan hukum TPPU.
Keenam,
dengan berdasarkan Putusan MK Nomor 77/PUU-XII/2014 pada prinsipnya secara
konstitusional masih mempertahakan keberlakuan yuridis Pasal 69 UU TPPU 2010.
Dalam konsideran putusan MK a quo
dinyatakan bahwa suatu ketidakadilan seseorang yang sudah nyata menerima
keuntungan dari tindak pidana pencucian uang tidak diproses pidana hanya karena
tindak pidana asalnya belum dibuktikan terlebih dahulu. Rakyat dan masyarakat
Indonesia akan mengutuk bahwa seseorang yang nyata-nyata telah menerima
keuntungan dari tindak pidana pencucian uang lalu lepas dari jeratan hukum
hanya karena tindak pidana asalnya belum dibuktikan lebih dahulu, namun
demikian tindak pidana pencucian uang memang tidak berdiri sendiri, tetapi
harus ada kaitannya dengan tindak pidana asal. Bagaimana mungkin ada tindak
pidana pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asalnya. Apabila tindak
pidana asalnya tidak dibuktikan terlebih dahulu maka tidak menjadi halangan
untuk mengadili TPPU.
Ketujuh,
dengan berdasarkan yurisprudensi, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 254/PIDS/2005 PN. JAK.Sel juga didalam pertimbangan hukumnya dinyatakan
“bahwa oleh karena itu terdakwa Lukman Hakim pasti mengetahui atau
setidak-tidaknya patut menduga bahwa cek BII yang diserahkan kepada saksi Tonny
Cahidir Martawinata tersebut merupakan
harta kekayaan sebagai hasil tindak pidana kejahatan perbankan sebagai
tindak pidana asal berasarkan penjelasan Pasal 3 ayat 1 UU Nomor 25 Tahun 2003
tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu untuk dapat dimulainya pemeriksaan TPPU.
Namun melalui persidangan terungkap bahwa Ir. Wahyu Hartanto BS selaku kepala
cabang pembantu BII Senen, sedang menjalani persidangan sebagai terdakwa di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dakwaan tindak pidana perbankan sebagai predicate crime dimaksud.
Pada akhirnya
pembuktian TPPU tidak perlu pembuktian atas tindak pidana asalnya. Dengan
berdasarkan uraian di atas baik secara yuridis maupun secara teoritis sekiranya
dapat menjadi penekanan dalam praktik penegakan hukum TPPU tidak lagi terjadi
perbedaan kesepahaman. Putusan MK Nomor 77/PUU-XII/2014 merupakan jawaban yang
final mengenai keberadaan Pasal 69 UU TPPU atas kesimpangsiuran yang masih
terjadi hingga saat ini, perlu atau tidaknya penegakan hukum TPPU menunggu terbuktinya
tindak pidana asal melalui putusan pengadilan inkrah. Bagaimanapun demi
efektivitas penegakan hukum TPPU dan demi menghindari terjadinya perbedaan
putusan pengadilan, sebaiknya dalam penanganan TPPU digabung dengan tindak
pidana asalnya. Selain yang demikian menjamin prinsip speed administration, juga lebih memberi kepastian dan
perlindungan hak asasi terhadap seseorang yang diduga melakukan TPPU.