PERANGAI POLITIK DAN HUKUM

By 2 on 2019-10-22

 Setiap negara sudah barang tentu memiliki politik hukum, baik yang bersifat tetap (permanent) maupun yang bersifat sementara (temporary). Keberadaan politik hukum itu dapat dilihat jika adanya satu kesatuan sistem hukum, dari pembentukan hukum yang memperhatikan kemajemukan masyarakat, adanya hukum adat dan hukum tidak tertulis lainnya yang turut diakui sebagai subsistem hukum sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam masyarakat. Pembentukan hukum itu sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat, dan ia dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum – keadilan sosial bagi seluruh rakyat – terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara berdasarkan atas hukum dan berkonstitusi.[1] Dalam pemikiran tersebut, Soedarto mendefiniskan politik hukum sebagai bentuk kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[2]

Pembahasan politik hukum tidak bisa dilepaskan dari subjek yang dianggap lebih determinan. Pendapat pertama mengatakan bahwa hukum ialah determinan atas politik, dalam artian bahwa kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kemudian pendapat kedua ketika politik yang dianggap determinan atas hukum, maka hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Tetapi, suatu sistem yang ideal adalah sistem yang mana hukum dan politik berada di posisi determinan yang seimbang sehingga dapat membentuk sebuah keteraturan, dan perlu diakui bahwa hukum merupakan produk keputusan politik, namun begitu hukum berlaku, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada hukum.[3] Meskipun dari sudut ‘das sollen' terdapat pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, akan tetapi sebaliknya bila dilihat dari sudut 'das sein' bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya dengan penggunaan kekuasaan.

Dalam tautannya dengan politik, hukum juga memiliki fungsi sebagai sarana legitimasi bagi kekuasaan formal lembaga negara dan pemerintahan. Keabsahan kekuasaan itu dilakukan dengan penetapan landasan hukum bagi kekuasaan melalui aturan-aturan hukum, agar pelaksanaannya dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis dan etis. Hukum dan kekuasaan adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama, dan kekuasaan akan sangat bergantung dari mana hukum dilihat. Pada satu sisi hukum adalah kekuasaan atau wewenang yang legal, dan pada sisi lain hukum adalah aturan-aturan untuk mengatur tingkah laku para pemegang kekuasaan dalam lalu lintas sosial. Karakteristik hubungan hukum dan kekuasaan terutama dalam konteks legalisasi kekuasaan dan penegakan hukum, dijelaskan oleh  Mochtar Kusumaatmadja dengan slogan “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.[4]

Maka benar bahwa hukum merupakan produk politik, sehingga setiap produk hukum akan sangat ditentukan oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi.[5] Hal tersebut dapat diperjelas dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggaraan negara melalui sebuah kekuasaan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan norma di masyarakat yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo dalam konsepsi negara hukum, pemerintah harus menjamin adanya penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Yang mana dalam penegakan hukum itu, ada tiga unsur yang sedapat mungkin harus selalu mendapat perhatian, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.[6] Merujuk kembali pada dua sifat dari politik hukum yang bersifat tetap (permanent) dan bersifat sementara (temporary), maka politik hukum selalu menjadi dasar keyakninan bagi penegakan hukum, begitu pula terhadap tiga unsur di bawahnya.[7] 

Terkait dengan hal tersebut, penegakan hukum dapat diartikan sebagai kegiatan yang menciptakan “social engineering”,  yang memelihara dan mempertahankan “social control”, dan menjaga kedamaian pergaulan hidup.[8] Pengertian penegakan hukum dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya yang mencakup makna yang luas dan sempit. Arti luas penegakan hukum mencakup nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan dalam arti sempit, penegakan hukum hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Berdasarkan hal tersebut, istilah “law enforcement? ke dalam bahasa Indonesia diartikan “penegakan hukum? dalam arti luas, dan dapat pula digunakan istilah “penegakan peraturan? dalam artinya yang sempit.[9]

Selanjutnya dikemukakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep agar menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide tersebut merupakan hakikat dari penegakan hukum.[10] Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang memberikan kontribusi dan pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu, (1) faktor hukum (subtance) atau peraturan perundang-undangan; (2) faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas; (3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum; (4) faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku masyarakat, dan; (5) faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.[11]

Dengan lebih memahami hakikat hukum dan kekuasaan secara mendasar, tentu pada gilirannya, pembuatan dan pelaksanaan hukum akan senantiasa lebih arif dan bijaksana, begitu pula tentang perolehan serta penggunaan kekuasaan tersebut.[12] Penegakan hukum tidaklah dapat berjalan sendiri, ia akan selalu terkait dengan politik hukum, pembaharuan hukum, sistem hukum, dan kesamaan persepsi terhadap hukum yang akan ditegakkan.[13] Dalam pola pikir demikian, maka hukum menjadi semacam alat di tangan kekuasaan untuk mewujudkan apa yang dikehendakinya.[14] Namun hal tersebut tidak dapat diartikan hukum menjadi alat oleh kekuasaan dalam hal negatif, melainkan hukum menjadi alat oleh kekuasaan dalam hal positif, yakni untuk menegakkan keadilan, menertibkan kehidupan bermasyarakat, dan untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara. Selaras dengan itu, meski penegakan hukum menjadi alat oleh kekuasaan untuk menerapkan suatu peraturan ke dalam masyarakat, tetapi jangan sampai penegakan hukum diperalat oleh kekuasaan untuk kepentingan penguasa-nya semata.  

Dalam mewujudkan suatu hukum ke dalam masyarakat, dikenal adanya tiga komponen utama yaitu perancang hukum, pembentuk hukum, dan penegak hukum. Pada kenyataanya, jika ketiga komponen perwujudan hukum kepada masyarakat tersebut tidak melakukan fungsinya dengan baik, maka output yang dihasilkannya akan memiliki mutu sangat rendah, bahkan dapat mendekati titik nadir. Secara empiris, keadaan di mana perancang hukum tidak bekerja dengan baik, disebabkan oleh rendahnya mutu para perancang hukum atau tidak adanya mekanisme perancangan hukum yang benar. Para pembentuk hukum pun tidak melakukan tugasnya secara benar yang disebabkan rendahnya mutu dan komitmen mereka. Kuatnya tawar-menawar politik dan tawar-menawar kepentingan selalu menyebabkan hukum untuk tidak pernah bisa dibuat secara baik, juga tidak pernah menghasilkan produk dan kaidah hukum yang baik. Kemudian para penegak hukum yang termasuk ke dalam caturwangsa (hakim, jaksa, polisi, dan advokat) dalam menerapkan hukum juga tidak melakukan pekerjaannya secara benar. Penyebab tidak terlaksananya penegakan hukum oleh caturwangsa hukum, yaitu rendahnya kualitas dari caturwangsa tersebut, yang mana juga terhadap tidak diindahkannya prinsip the right man on the right place, rendahnya komitmen terhadap penegakan hukum, tidak adanya mekanisme penegakan hukum yang baik dan modern, kuatnya pengaruh dan intervensi politik dan kekuasaan ke dalam dunia caturwangsa. Terutama ke badan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, serta kuatnya tuduhan tentang adanya korupsi dan organized crime antar anggota caturwangsa tersebut berupa tuduhan mafia peradilan.[15]

Pada akhirnya, keadilan akan dapat terwujud apabila aktivitas politik dari kekuasaan yang melahirkan produk-produk hukum berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya, lembaga-lembaga penegakan hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, sehingga dasar dari pembentukan hukum yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan. Sejatinya, hukum selalu bergerak ke arah luar secara sentrifugal ke pelbagai arah bidang, termasuk pula terhadap bidang politik. Namun pada saat yang bersamaan, hukum bergerak ke arah dalam secara sentripetal menuju nilai-nilai kebenaran, keadilan dan harmoni. Para penegak hukum hendaknya memahami hakikat jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan pelbagai dinamika politik hukum yang terjadi dalam proses pembuatan hukum (law making process). Idealnya, akan selalu dituntut kecerdasan emosional dan spiritual serta hati nurani (conscience) dari para penegak hukum dalam menyidik, menuntut dan mengadili kejahatan agar dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat.

Fiat Justitia Ruat Caelum –

 

 

[0]  Perangai / pe·ra·ngai / (n): cara berbuat; tingkah laku; kelakuan. – Jurnal ini membahas mengenai sifat politik dan hukum yang saling bergantung dan mempengaruhi, serta bagaimana mereka bereaksi terhadap berbagai fenomena.

[1]  Teuku May Rudi, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung: Eresco, 1993), hal. 25-26.

[2]  Soedarto, dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hal. 14.

[3]  Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum cetakan kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 81-82.

[4] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 6.

[5] Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hal. 4.

[6]  Sudikno Mertokusumo dan A Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bak, 1993), hal. 1.

[7] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Penerbit FH UII, 2001), hal. 179.

[8]  Purnadi Purbacaraka, Penegakan Hukum dan Mensukseskan Pembangunan, (Bandung: Alumni, 1977), hal. 34.

[9]  Jimly Ashidiqie, Penegakan Hukum, www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_ Hukum, diakses pada tanggal 06 Oktober 2019, pukul 10.12 WIB.

[10] Satjipto Rahardjo, Lapisan-lapisan dalam Studi Hukum, (Malang: Bayumedia Publishing, 2009), hal. 12.

[11] Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 8).

[12] Lili Rasyidi dan B. Aref Sidharta, Filsafat Hukum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 157.

[13] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal. 345.

[14] Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hal. 8.

[15] Nomensen Sinamo, Filsafat Hukum, (Jakarta: Permata Aksara, 2014), hal. 93.

oleh Finradost Yufan M., S.H. Kelas III, PPPJ angkatan 76 2019)