RESENSI UANG PENGGANTI

By 2 on 2019-10-07

Tindak pidana korupsi, suatu delik purbakala yang kerap mengancam prinsip – prinsip demokrasi karena secara terang menghalangi terciptanya suatu transparansi dan akuntabilitas, serta dengan corak sistemik – nya ia telah menghambat pembangunan berkelanjutan dengan dampak yang luas dan tak kasat mata.[1] Telah menjadi suatu rahasia publik bahwa korupsi tidak dapat ditolerir, dan tiap – tiap negara telah melibatkan diri mereka dalam suatu kompetisi untuk memberantas tindak pidana korupsi dengan sebaik dan setuntas mungkin, begitupun dengan Indonesia.

Pada tahun 1999 silam melalui undang – undang nomor 31-nya, Indonesia memasuki fase baru dalam upaya terbaiknya memberantas korupsi. Dimana bagi negara ini, pendekatan hukum pidana sebagai salah satu instrumen dalam memerangi korupsi masih menjadi pilihan utama.[2] Sungguhlah besar tekad dan keinginan dari para pencipta undang – undang pemberantasan korupsi, sungguhlah besar hingga adagium ultimum remedium tak lagi menjadi panutan dalam mengaplikasikan undang – undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebagai contoh, kendatipun kerugian negara telah kembali dan pulih, tetap saja seorang pelaku tersebut akan dibawa kemuka pengadilan untuk diadili atas tindakannya, begitulah keinginan dari undang – undang yang tengah berlaku. Pada masa pembentukan peraturan ini, pemerintah yang diwakili oleh Prof. Muladi yang menjabat sebagai menteri kehakiman pada tahun 1999 mengatakan bahwa penyusunan rancangan Undang – Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimaksudkan sebagai revisi dari Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.[3]

Pertanyaan yang berkembang adalah, apa yang menjadi kebutuhan hukum dan aspirasi masyarakat tersebut. Dalam suatu tatapan singkat, salah satu kelemahan terbesar dari UU 3/71 berada pada mekanisme teknis pembayaran uang pengganti. Pada masa yang lampau dapat ditemui adanya klausul yang serupa dengan uang pengganti, namun tidak terdapat suatu subsider daripadanya, sehingga kekuatan memaksa dari uang pengganti tersebut menjadi sangat lemah. Hal inilah yang menjadi salah satu revisi di tahun 1999 dalam suatu konsep overpenalization,[4] yang mana menjadikan pidana penjara subsider hadir untuk pertama kalinya dalam sejarah hukum pidana di Indonesia, yang dipilih oleh para perumus guna memberi suatu paksaan dalam menegakkan pidana uang pengganti.[5] Maka menjadi terang sudah apa yang menjadi tujuan utama dari UU 31/99.

Uang Pengganti merupakan suatu jenis pemidanaan yang sangat sarat dengan asas lex specialis, dan juga menjadi perwujudan dari suatu teori pemidanaan yang beraliran relatif. Alih – alih bersifat menghukum, jenis pemidanaan ini berorientasi pada sisi restoratif guna mempertahankan seluruh batu bata yang dibutuhkan oleh negara dalam upaya membangun bangsa. Hal ini dikarenakan Indonesia memiliki kewajiban untuk melindungi dan menciptakan kesejahteraan bagi rakyat, yang salah satu pos dana-nya dapat bersumber dari dana alternative yaitu pengembalian uang hasil korupsi.[6] Ide tersebut disambut baik oleh Mantan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Artidjo Alkotsar yang mengatakan terdapatnya semangat pengembalian aset negara didalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memiliki misi untuk mengembalikan uang negara.[7] Yang mana menurut penulis, cetak biru untuk misi tersebut telah dirumuskan dengan sangat baik oleh para pembentuk undang - undang, kendati adanya tekanan dan perlawanan dalam fase politik hukum pidana – nya.

Dalam Undang – Undang No. 31 Tahun 1999, pengaturan mengenai pidana uang pengganti telah sebaik mungkin dijabarkan dan dijelaskan hingga diterangkan mengenai kondisi – kondisi yang dapat mempengaruhi penerapannya. Namun dikarenakan jenis pemidanaan ini tidaklah dikenal sebelumnya, dan pula merupakan lex specialis terhadap apa yang telah kita kiblatkan pada KUHP, maka seringkali interpretasi teknis dari pemidanaan ini menuai multitafsir dan mispersepsi yang menyebabkan pemidanaan uang pengganti tidak sesuai dengan tujuan dan semangat yang dimilikinya karena masih ada kekurangan.[8]

Dalam penerapannya, ternyata suatu unsur memaksa tersebut yang berupa pidana penjara subsider tidak menemui hasil yang sesuai. Dalam kompetensinya sebagai penanggung jawab eksekusi uang pengganti, saat ini kejaksaan memiliki rekapitulasi piutang uang pengganti yang belum terbayarkan dengan jumlah kolosal hingga 7,5 Triliun.[9] Dalam laporan rekapitulasi tersebut dapat dilihat adanya pertumbuhan piutang uang pengganti dalam jumlah yang tidak sedikit, sehingga meskipun rekapitulasi tersebut tidak dirincikan, namun hal tersebut masih menjadi bayang – bayang efektivitas penerapan uang pengganti. Dalam kata lain, sebagai penegak hukum maka kita harus mengetahui sebab terjadinya fenomena ini, untuk melahirkan suatu koreksi demi kemajuan negara.

Sepertinya, sebab terjadinya fenomena ini ada pada interpretasi teknis para penegak hukum terhadap pidana penjara subsider yang mengendalikan unsur imperatif dari pemidanaan ini, baik itu dari sisi Penuntut Umum ataupun Hakim sebagai 2 pihak yang terlibat dalam terwujudnya suatu pemidanaan. Sebagai salah satu perumus, Dr. Awaluddin Djamin mengatakan bahwa undang – undang tentang korupsi memang tidak akan sempurna, namun undang – undang yang baik sekalipun istilah pelaksanaannya tidak baik maka tidak akan baik hasilnya, sedangkan undang – undang yang kurang baik apabila dilaksanakan dengan baik maka hasilnya akan baik, dan ini perlu dipahami karena para Tim Perumus telah mencoba untuk menyempurnakan rancangan undang – undang yang saat ini telah disahkan menjadi Undang – Undang No. 31 Tahun 1999.[10]  Tentunya terdapat beberapa cara untuk melaksanakan suatu undang – undang dengan sebagaimana mestinya, salah satunya dengan mempelajari teori interpretasi hukum agar terbentuk argumentasi yang valid dan berdasar pada asas legalitas.

Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa hukum tidak akan berjalan tanpa interpretasi, oleh karena hukum membutuhkan pemaknaan lebih lanjut agar menjadi lebih adil dan membumi, maka membuat hukum adalah suatu hal, dan menginterpretasikan hukum yang sudah dibuat merupakan keharusan berikutnya.[11] Meskipun tidak ada prioritas dalam penggunaan berbagai teori interpretasi, paling tidak dapat dikatakan bahwa dalam hukum pidana, interpretasi gramatikal menempati urutan yang lebih penting dalam asas legalitas. Namun dalam sifatnya yang lex specialis, interpretasi historis –historia legis– memiliki peranan yang penting.[12] Konsekuensinya, travaux preparatories[13] menjadi urgen dalam fase penemuan hukum, namun yang lebih utama dari berbagai interpretasi dalam hukum pidana adalah interpretasi teleologis. Dengan demikian, jika diurutkan berdasarkan prioritas interpretasi dalam hukum pidana, interpretasi teleologis menempati urutan pertama, kemudian disusul interpretasi historis, lalu interpretasi gramatikal, dan pada akhirnya interpretasi sistematis.[14]

Maka penting bagi negara ini untuk mengembalikan marwah pidana uang pengganti, agar mendapatkan suatu output yang sesuai dengan cita – cita yang didambakan oleh para perumus undang – undang. Dengan harapan yang mulia demi kemajuan bangsa, tidak dapat dielakkan kewajiban para penegak hukum dalam mengaplikasikan suatu peraturan agar menjadi bertujuan dan tepat guna. Namun tentunya untuk mencapai hal tersebut, dibutuhkan usaha yang tidak mudah untuk memahami arti dan interptasi yang akurat terhadap penerapan teknis pidana uang pengganti. Dibutuhkan penelitian yang mendalam dan pemahaman yang sejati, dengan memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia dari seluruh elemen penegak hukum.

Fiat Justitia Ruat Caelum –

 

 

[0]  re.sen.si / rèsènsi / n: pertimbangan atau pembicaraan atau ulasan tentang hasil karya, produk dan sebagainya.

[1]  Indonesia, Undang – Undang Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, UU No. 7 Tahun 2006, LN No. 32 Tahun 2006, TLN No. 4620, Penjelasan Umum.

[2]  Ismansyah, Penerapan dan pelaksanaan Pidana Uang Pengganti Dalam Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Demokrasi (ejournal.unp.ac.id) Vol. 6, No. 2 (2007), hal. 2.

[3]  Kementrian Kehakiman Republik Indonesia, Keterangan Pemerintah di Hadapan Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Mengenai Rancangan Undang – Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, 1 April 1999, hal. 4.

[4]  DPR – RI (1), Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang – Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Masa Persidangan ke-III, Rapat Ke-5, (Jakarta: Sekretariat Panitia Khusus Set-Jen DPR-RI, 1999), hal. 3–6.

[5]  DPR – RI (2), Risalah Rapat Panitia Khusus Rancangan Undang – Undang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Masa Persidangan ke-IV, Rapat Ke-13, (Jakarta: Sekretariat Panitia Khusus Set-Jen DPR-RI, 1999), hal. 5.

[6]  Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: P.T. Alumni, 2007), hal. 17 – 18.

[7]  Pengadilan Negeri Tual Klas II, http://pntual.go.id/index.php?option=com_content&view =article&id=96:mausulkoruptakgantiuang&catid=14:berita-badilum, diakses tgl 24 Februari 2014.

[8]  Ibid.

[9]  Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Berita Acara Rekonsilisasi Piutang Negara Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi Yang Ditangani Bidang Pidsus Periode 30 Juni 2019, (Jakarta: Direktorat Uheksi JAMPIDSUS, 2019).

[10] DPR – RI (1), Op.Cit., hal. 13.

[11] Satjipto Rahardjo – Interpretasi Hukum Yang Progresif, dalam Anthon Freddy Susanto, Semiotika Hukum: Dari Dekonstruksi Teks Menuju Progresivitas Makna, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hal. 6.

[12] Eddy O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009), hal. 69.

[13] Dokumen dan catatan rapat – rapat persiapan perancangan suatu naskah perundang – undangan.

[14] Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal – Pasal Terpenting dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta, Gramedia Pusaka Utama, 2003), hal. 53 dan 56.

 

 

 

Rizkisyah Karoen N., S.H.

Kelas III, PPPJ angkatan 76 (2019)