Antara Jaksa dan Kriminolog

By 2 on 2019-10-05

Oleh: Imdad Mahatfa Virya, SH.

Siswa PPPJ Angkatan LXXVI Kelas III Tahun 2019

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.[1] Tugas dan kewenangan Jaksa melingkupi beberapa bidang baik itu pidana, perdata dan tata usaha negara, maupun ketertiban umum. Khusus untuk bidang pidana, salah satu tugas dan kewenangan Jaksa adalah melakukan penuntutan. Dalam rangka melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan pra penuntutan. Pra penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

Ketentuan tersebut menggambarkan betapa besarnya kewenangan Jaksa dalam bidang penuntutan, sehingga sudah semestinya diimbangi dengan kemampuan analisa hukum pidana yang mumpuni. Karena dewasa ini sudah selayaknya hukum pidana ditegakkan bukan sekedar sebagai cara untuk meretribusi pelaku saja, namun juga untuk mempertimbangkan keadilan restoratif agar dapat memulihkan keadilan itu sendiri.[2] Dengan kata lain, keberadaan hukum pidana harus memberikan manfaat baik itu untuk korban maupun pelaku tindak pidana.

Manfaat hukum pidana bagi seorang yang diduga melanggar hukum karena kepercayaan atau ideologi tertentu misalnya, sering kali dipersoalkan karena dianggap tidak tepat. Terapi sosial dianggap merupakan cara yang lebih tepat untuk menyadarkan dan mengubah pola pikir atas suatu hal yang salah dipahami oleh pelaku tindak pidana tersebut.[3] Walaupun tidak sepenuhnya dapat diterima, namun berangkat dari pemahaman ini kiranya dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sebagai seorang penegak hukum, Jaksa harus dapat memahami pola pikir seorang pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, keberadaan kriminologi memiliki peran tersendiri dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Jaksa.

Secara etimologis, istilah kriminologi yang pertama kali dikemukakan oleh seorang antropolog Perancis P. Topinard (1830-1911) berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan.[4] Secara harafiah, kriminologi berasal dari Bahasa Belanda “criminologie” yang memiliki definisi “leer van de misdadigheid of criminaliteit met als onderdelen criminele biologie, sociologie en antropologie yang dapat diterjemahkan secara bebas sebagai ilmu tentang kejahatan dan cara penanganan atau penghukumannya serta latar belakang pelaku sebagai fenomena sosial.[5] Bersanding dengan hukum pidana bagai sebuah mata uang yang memiliki dua sisi, terdapat posisi ilmu kriminologi itu sendiri. Bilamana objek dari hukum pidana adalah aturan-aturan hukum yang mengatur mengenai kejahatan atau yang berkaitan dengan pidana beserta tujuannya agar dapat dimengerti dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya, maka objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar sebab-sebab orang melakukan tindak pidana dapat diketahui, sehingga nantinya diharapkan dapat dibentuk sebuah regulasi yang akan membatasi pelaku kejahatan tersebut melakukan perbuatan pidana. Pada ilmu kriminologi dikenal bahwa seseorang dapat melakukan suatu perbuatan pidana karena ia memang memiliki bakat untuk berbuat jahat atau bisa jadi ia didorong oleh keadaan di sekitarnya (milieu) baik secara psikologis maupun ekonomis.[6]

Sementara menurut Vos, hukum pidana memiliki fungsi untuk melawan kelakuan-kelakuan yang tidak normal.[7] Kelakuan-kelakuan tidak normal yang berujung kepada suatu tindak pidana yang dapat merugikan orang lain sudah barang pasti harus dapat ditanggulangi. Sehingga seorang Jaksa harus memahami sebab-sebab orang melakukan kelakuan-kelakuan tidak normal yang berujung kepada suatu tindak pidana tersebut. Tidak untuk sebuah alasan menganulir atau membenarkan, namun seorang Jaksa yang secara asas sebagai dominus litis mengiringi kewenangan besar di atas, hal ini perlu dipahami sebagai sebuah cara yang dilakukan demi mencegah terjadinya suatu tindak pidana dan memberikan tuntutan dengan seadil-adilnya.

Pemahaman pola pikir pelaku tindak pidana dapat dijelaskan dalam ilmu kriminologi. Hal ini didukung oleh pendapat Bonger, menurutnya kriminologi dapat dibagi menjadi kriminologi murni dan terapan. Kaitannya dengan penegakan hukum pidana, kriminologi terapan mencakup higiene kriminal yaitu usaha yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan. Misalnya usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk menerapkan undang-undang yang dilakukan semata-mata untuk mencegah terjadinya kejahatan. Selain itu terdapat politik kriminil yakni usaha penanggulangan kejahatan di mana suatu kejahatan terjadi. Di sini dilihat sebab-sebab seorang melakukan kejahatan. Bila disebabkan oleh faktor ekonomi, maka usaha yang dilakukan adalah meningkatkan keterampilan atau membuka lapangan kerja. Jadi tidak semata-mata penjatuhan sanksi.[8]

Pada akhirnya, penjatuhan treatment terhadap pelaku tindak pidana yang relatif berbeda di antara satu dan lainnya menjadi sangat berdasar bilamana seorang Jaksa memahami hakikat penerapan kriminologi dalam pelaksanaan tugasnya. Tetapi perlu dipahami kendatipun hubungan antara ilmu hukum pidana sebagai pisau analisa Jaksa dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya sangat erat dengan keberadaan kriminologi, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Ilmu hukum pidana adalah ilmu normatif dan kriminologi adalah ilmu sosial. Romli Atmasasmita mengutip pendapat van Bemmelen menyatakan bahwa hukum pidana adalah normativestrafrechtwissenschaft, sedangkan kriminologi adalah faktuelestrafrechtwissenschaft.[9]

Sebagai konklusi, dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Jaksa terdapat pisau analisis lain yaitu ilmu kriminologi demi mencegah terjadinya suatu tindak pidana dan memberikan tuntutan dengan seadil-adilnya.

 

 

Refrensi:

[1] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

[2] Wayne R. Lafaye, 2010, Principle of Criminal Law, West A Thomson Reuters Buseness, Hlm. 26

[3] Artikel dalam Majalah MIMBAR HUKUM Volume 21, Nomor 1, Februari 2009 berjudul “Sikap Memidana yang Berorientasi pada Tujuan Pemidanaan”, oleh Marcus Priyo Gunarto, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 94

[4] I.S. Susanto, 2011, Kriminologi, Yogyakarta: Genta Publishing, Hlm. 1

[5] Martin Basiang, The Contemporary Law Dictionary Second Edition (Kamus Hukum Kontemporer), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, Hlm. 110-111.

[6] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, 1993, Jakarta: PT. Rineka Cipta, Hlm. 13

[7] Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, 2016, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, Hlm. 34

[8] Ibid. Hlm. 7

[9] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, 2007, Bandung: Refika Aditama, Hlm. 4-5