SELAYANG PANDANG: REVISI UU KPK

By 2 on 2019-09-25

SELAYANG PANDANG: REVISI UU KPK

Oleh: Nathaniel Doloksaribu, SH dan Christian Dior P. S, SH.*

 

Pada hari Selasa, tanggal 17 September 2019, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah menyetujui Revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (Revisi UU KPK) yang mana pada saat ini Revisi UU KPK tersebut sedang menunggu untuk ditandatangani oleh Presiden supaya menjadi undang-undang.[1] Revisi UU KPK ini kemudian menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat, ada yang berpendapat bahwa sudah tepat untuk dilakukan revisi terhadap UU KPK tersebut tetapi ada juga yang berpendapat bahwa tidak perlu dilakukan revisi terhadap UU KPK. Diluar diskursus mengenai Revisi UU KPK tersebut, terdapat beberapa hal yang menarik untuk kemudian Penulis bahas, yaitu:

Pertama, Hapusnya Pasal “Pimpinan KPK adalah Penyidik dan Penuntut Umum”

Di dalam Revisi UU KPK tidak ditemukan lagi pasal yang mengatur bahwa “Pimpinan KPK adalah Penyidik dan Penuntut Umum”. Menjadi pertanyaan besar bagi kita semua, apa yang menjadi dasar bagi pembuat undang-undang sehingga menghilangkanketentuan tersebut dalam Revisi UU KPK.

Sebagaimana ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf a dan Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK (UU KPK) diatur bahwa:

(1) Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri atas:

a. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi.

(2) Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum.

 

Bila kita memperhatikan bunyi pasal tersebut, maka timbul pertanyaan “Apa yang dimaksud dengan Pimpinan KPK adalah Penyidik dan Penuntut Umum?” Di dalam UU KPK baik dalam ketentuan pasal maupun dalam penjelasan UU KPK tersebut, tidak ada ditemukan penjelasan yang komprehensif untuk menjelaskan maksud mengenai “Pimpinan KPK adalah Penyidik dan Penuntut Umum”. Namun, sejauh penelusuran yang Penulis lakukan, terdapat 2 (dua) pendapat mengenai tafsir Pasal 21 ayat (4) UU KPK tersebut, yaitu pendapat pertama, setelah Pimpinan KPK dilantik, maka pimpinan KPK dengan sendirinya (otomatis) akan berstatus sebagai penyidik dan penuntut umum sehingga dalam jabatannya, pimpinan KPK dapat bertindak selaku penyidik dan penuntut umum. Walapun pimpinan KPK tersebut bukan berlatar belakang Polisi ataupun Jaksa (yang menurut KUHAP merupakan Penyidik atau Penuntut Umum), maka pimpinan KPK tersebut tetap dapat bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum berdasarkan ketentuan undang-undang yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) UU KPK.[2] Pendapat kedua, maksud dari Pasal 21 ayat (4) UU KPK ini adalah Pimpinan KPK harus berasal dari Polisi dan Jaksa karena yang dimaksud dengan Penyidik dan yang berwenang melakukan Penyidikan berdasarkan KUHAP adalah Polisi serta yang dimaksud dengan Penuntut Umum dan yang berwenang melakukan penuntutan berdasarkan KUHAP adalah Jaksa.[3]

Mengenai pendapat yang kedua tersebut, pada dasarnya tidak ada ketentuan secara eksplisit dalam UU KPK yang menyatakan bahwa “Pimpinan KPK harus berasal dari unsur penyidik (Polisi) dan penuntut umum (Jaksa)”. Di dalam penjelasan umum UU KPK hanya mengatur bahwa “Pimpinan KPK terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat”, tetapi mengenai siapa yang dimaksud dengan unsur pemerintah ini, tidak ada penjelasan lebih lanjut di dalam UU KPK tersebut. Namun, menurut Prof. Romli Atmasasmita yang merupakan Mantan Ketua Tim Perumus UU KPK mengatakan bahwa Pimpinan KPK yang berasal dari unsur pemerintah itu adalah Polisi dan Jaksa, sedangkan unsur masyarakat adalah akademisi atau anggota masyarakat lain dengan syarat harus sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki pengetahuan terkait tindak pidana korupsi.[4]

Berdasarkan penjelasan di atas, Penulis sependapat dengan pendapat yang pertama bahwa setelah Pimpinan KPK dilantik, maka Pimpinan KPK dengan sendirinya akan berstatus sebagai penyidik dan penuntut umum. Bila melihat Pasal 21 ayat (3) UU KPK diatur bahwa “Pimpinan KPK adalah pejabat negara”, kemudian Pasal 21 ayat (4) UU KPK diatur bahwa “Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum”, jika melihat konstruksi pasal tersebut, maka setelah pimpinan KPK dilantik, maka pimpinan KPK adalah pejabat negara dan dalam jabatannya sebagai pimpinan KPK, maka pimpinan KPK dapat bertindak selaku penyidik dan penuntut umum.

Sebagaimana uraian tersebut di atas, menurut Penulis, dalam Revisi UU KPK seharusnya terdapat ketentuan mengenai pertama, “Pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum” dan kedua, “dalam pimpinan KPK harus terdapat unsur Polisi dan Jaksa”. Adapun alasan dua ketentuan ini seharusnya ada dalam Revisi UU KPK, yaitu pertama, karena dalam revisi UU KPK tidak ada lagi ketentuan “Pimpinan KPK adalah Penyidik dan Penuntut Umum”, maka pimpinan KPK tidak lagi dapat bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum dalam jabatannya sehingga berdampak terhadap keputusan yang diambil oleh pimpinan KPK secara kolektif kolegial mengenai penetapan tersangka, proses penyidikan, dan proses penuntutan karena pimpinan KPK sudah tidak lagi merupakan penyidik yang melakukan penyidikan dan penuntut umum yang melakukan penuntutan. Kedua, dalam pimpinan KPK seharusnya terdapat unsur Polisi dan Jaksa. Adapun alasannya karena melihat salah satu tugas KPK itu sendiri berdasarkan Pasal 6 huruf e RUU KPK adalah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan KUHAP dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan), yang mempunyai tugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan adalah Polisi (penyelidikan dan penyidikan) dan Jaksa (penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan). Dengan demikian, berdasarkan tugas dan wewenangnya tersebut, Polisi dan Jaksa lebih mengetahui secara mendalam mengenai penanganan perkara dalam proses penyelidikan, penyidikan, ataupun penuntutan sehingga lebih tepat bila dalam unsur pimpinan KPK terdapat seorang Polisi dan Jaksa.

Kedua, Munculnya Pasal 12A RUU KPK

KPK sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, memiliki kewenangan yang lengkap dalam bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Menurut Prof. Andi Hamzah terkait dengan kewenangan KPK untuk melakukan penuntutan, Indonesia bermaksud mencontoh Badan Pencegah Rasuah (BPR) Malaysia (KPK-nya Malaysia) yang menerapkan double prosecution system. Namun, ternyata terdapat kesalahan karena penuntut umum pada BPR Malaysia tetap bertanggung jawab pada Peguam Negara (Jaksa Agung Malaysia).[5]

Sebagaimana telah berjalan selama ini, penuntut umum pada KPK dalam melaksanakan tugas penuntutan melakukan koordinasi dengan Pimpinan KPK yang mana dalam UU KPK merupakan penyidik dan penuntut umum. Dengan demikian Pimpinan KPK mempunyai kewenangan untuk mengendalikan penuntutan yang seharusnya hanya dimiliki oleh Jaksa Agung RI. Tidak heran pada akhirnya muncul kritikan bahwa di Indonesia terdapat 6 (enam) orang Jaksa Agung, yaitu Jaksa Agung itu sendiri dan 5 (lima) orang unsur pimpinan KPK. Permasalahan yang kemudian timbul adalah dalam pelaksanaannya, penuntut pada KPK tidak melakukan koordinasi dengan Jaksa Agung sehingga dapat terjadi perbedaan pendapat dalam persoalan teknis, baik dalam penerapan pasal yang didakwakan sampai dengan tuntutan yang diajukan. Dualisme tersebut kemudian memunculkan inkonsistensi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Adapun kemudian permasalahan tersebut dijawab dalam Pasal 12A yang dimunculkan dalam Revisi UU KPK.

Pasal 12A RUU KPK mengatur bahwa “dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Yang menjadi pertanyaannya adalah apa yang dimaksud dengan melaksanakan koordinasi dalam Pasal 12A RUU KPK ini? Kemudian, ketentuan perundang-undangan yang mana dijadikan dasar dalam koordinasi yang dilakukan oleh penuntut pada KPK?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dilihat terlebih dahulu maksud dari pembentuk undang-undang memasukkan Pasal 12A RUU KPK tersebut. Jika melihat ketentuan Pasal 12A dalam Draf Revisi UU KPK versi sebelumnya pada saat sebelum disetujuinya RUU KPK ini oleh DPR, bunyi Pasal 12A RUU KPK ini adalah “dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan”.

Terlihat jelas perbedaan mendasar dari Pasal 12A RUU KPK yang disetujui oleh DPR dengan Pasal 12A RUU KPK pada draf revisi RUU KPK versi sebelumnya, yang mana pada Pasal 12A RUU KPK yang disetujui oleh DPR berbunyi “penuntut pada KPK melakukan koordinasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan” sedangkan pada Pasal 12 A RUU KPK pada draf revisi RUU KPK versi sebelumnya berbunyi “penuntut pada KPK melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung RI”.

Menurut Penulis meskipun hilangnya kata-kata “dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia” pada Pasal 12A RUU KPK yang telah disetujui oleh DPR ini, harus dapat dipahami bahwa koordinasi yang dimaksud dalam Pasal 12A RUU KPK ini adalah koordinasi dengan lembaga yang memiliki kewenangan di bidang Penuntutan yang mana pada Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan mengatur bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kemudian Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan mengatur bahwa“Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan”. Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (1) UU Kejaksaan disebutkan bahwa “Mengingat Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan maka Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan”.

Dengan melihat pembahasan sebelumnya di atas bahwa pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum, maka koordinasi dalam pasal 12A RUU KPK tersebut harus diartikan bahwa “penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan”. Dengan demikian, meskipun KPK juga berwenang melakukan penuntutan, masih tetap terdapat kesatuan pemahaman antara KPK dengan Jaksa Agung melalui koordinasi tersebut. Adapun koordinasi tersebut tidaklah merupakan suatu upaya pelemahan maupun pengekangan terhadap KPK, namun dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas dalam pelaksanaan tugas penuntutan untuk kepastian hukum yang pada akhirnya akan mewujudikan single prosecution system yang berlaku umum di seluruh dunia atau setidak-tidaknya double prosecution system yang terkoordinasi.

*Penulis adalah Siswa PPPJ Angkatan LXXVI Kelas III

 

Footnote:

[1] Pasal 20 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

[2] Detik.com, Pimpinan KPK Bukan Lagi sebagai Penyidik dan Penuntut Umum, diakses dari https://news.detik.com/berita/d-4709568/pimpinan-kpk-bukan-lagi-sebagai-penyidik-dan-penuntut-umum.

[3] Detik.com, Antasari Azhar Kritik Tak Ada Unsur Jaksa di Pimpinan KPK: Melanggar UU!, diakses dari  https://news.detik.com/berita/d-4629891/antasari-azhar-kritik-tak-ada-unsur-jaksa-di-pimpinan-kpk-melanggar-uu.

[4] Antaranews, Romli: Pimpinan KPK dari Unsur Pemerintah itu Polisi dan Jaksa, diakses dari https://www.antaranews.com/berita/992890/romli-pimpinan-kpk-dari-unsur-pemerintah-itu-polisi-dan-jaksa.

[5] Disampaikan dalam acara Indonesia Lawyer Club dengan tema “KPK Mau Diperkuat atau Diperlemah?”, pada hari Selasa, 10 September 2019.