Opini:TEROBOSAN KEJAKSAAN RI DALAM MENGGAPAI KEADILAN RESTROATIF SERTA UPAYA KEDEPANNYA

By admin on 2020-08-17



Oleh : Zulkarnain Baso Hakim


 “Saya tidak mengkhendaki kalian melakukan penuntutan asal-asalan tanpa melihat rasa keadilan di masyarakat. Ingat, rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP melainkan ada dalam hati nurani kalian. Camkan itu!.” Itulah instruksi tegas Jaksa Agung RI S.T. Burhanuddin kepada segenap jajaran dan anak buahnya untuk dipedomani dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang penuntutannya. 

Pernyataan Jaksa Agung tersebut menurut penulis merupakan kritik tajam sekaligus bentuk ketidakpuasan beliau terhadap kinerja mayoritas para Jaksa/Penuntut Umum yang selama ini dalam menjalankan kewenangan penegakan hukumnya masih terjebak dalam terali kepastian hukum dan keadilan prosedural semata sehingga mengabaikan keadilan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama dari hukum itu sendiri, padahal perlu diingat bahwa Equm et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum).

Filsuf hukum asal Jerman Gustav Radbruch sejak awal perkembangan hukum di eropa  telah mengutarakan bahwa pada prinsipnya ada 3 nilai yang hendak dituju oleh hukum itu sendiri antara lain keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Gustav menambahkan dalam realitasnya nanti tujuan yang hendak dicapai oleh hukum itu akan saling tidak selaras dan bersaing, mesti ada yang diutamakan dan dikesampingkan oleh karena itu priority principle perlu digunakan. Gustav radbruch menegaskan jika ketiga nilai ini saling bersaing maka keadilan menjadi dominan yang harus diprioritaskan oleh penegak hukum untuk dicapai dibandingkan kepastian dan kemanfaatan, hal ini beranjak dari Premis rechct ist wille zur gerechtigkeit (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan).

Dalam perkembangannya keadilan pun turut bertransformasi ke arah yg lebih baru, sejak tahun 1977 Albert Eglash telah memperkenalkan konsep keadilan restroatif (restorative justice) dalam teori  keadilan dalam peradilan pidana disamping retributive justice dan distributive justice. keadilan restroatif ini dirasa sangat cocok memberikan kepuasan bagi masing-masing pihak yang bermasalah dengan hukum (pelaku-korban) dimana Negara menjadi penengah di dalamnya dengan model mediasi Penal. Namun dalam sistem hukum pidana positif model keadilan ini masih terbilang baru, keadilan restroatif mulai masuk dalam sistem hukum pidana positif dalam delik anak sebagai pelaku pasca diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sisitem Peradilan Pidana Anak yang memuat diversi dan keadilan restroatif sehingga keadilan restroatif cakupannya masih sangat terbatas, padahal sejatinya keadilan restroatif ini sangat mungkin dan sangat diperlukan dalam penyelesaian perkara hukum pidana lainnya.

TEROBOSAN HUKUM
Menjawab permasalahan tersebut, Jaksa Agung RI S.T Burhanuddin yang memiliki tugas dan wewenang mengefektifkan proses penegakan hukum dilingkungan Kejaksaan RI mengeluarkan kebijakan hukum yang sangat progresif dengan menerbitkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restroatif. Kebijakan ini menjadi krusial dimotori oleh Kejaksaan mengingat kejaksaan (Jaksa) memiliki posisi dan peran strategis dalam proses penegakan hukum dalam bingkai sistem perdilan pidana terpadu sebagai master of process/dominus litis yang salah satu fungsinya menyaring sebuah perkara pidana dan menentukan perlu tidaknya sebuah perkara pidana diteruskan kepersidangan dengan mempertimbangkan 3 (tiga) nilai tujuan hukum yg disebut oleh gustav radbruch tersebut diatas.

Dr Sunarta menuturkan “sudah berpuluh puluh tahun kita (Jaksa) harus membawa perkara kecil ke pengadilan, perkara yang sebenarnya tidak menimbulkan kerugian besar”. Oleh karena itu kebijakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restroatif ini dapat dibilang sebagai sebuah terobosan hukum dari Kejaksaan RI sehingga Jaksa tidak lagi melakukan penuntutan perkara yang tidak perlu. 

 Dalam menciptakan keadilan restroatif dalam penyelesaian perkara pidana, kebijakan penghentian penuntutan ini membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban secara bersama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan ke keadaan semula sebelum upaya penuntutan hukum pidana itu dilakukan. Dengan kebijakan ini pula keadilan restroatif dapat terwujud dalam penyelesaian perkara pidana yang tidak hanya terbatas pada delik dalam lingkup UU SPPA saja melainkan juga terhadap setiap penyelesaian perkara dimana hukum pidana mengambil posisi sebagai ultimum remidium (obat/solusi terakhir). Namun perlu diperhatikan bahwa kebijakan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restroatif ini nantinya diterapkan dengan cermat sesuai syarat dan ketentuan serta asas yang telah diatur di dalamnya.

UPAYA KEDEPAN
Dengan adanya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restroatif ini maka sudah ada 3 (tiga) mekanisme penghentian penuntutan disamping penghentian penuntutan demi hukum dan pengesampingan perkara demi kepetingan umum (seponering). perlu dicermati di sini bagaimana konsekuensi hukum yang mengikuti pasca penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restroatif dilaksanakan, apakah suatu saat ada kemungkinan penuntutannya dapat dilanjutkan kembali jika ada keadaan tertentu seperti pada penghentian penuntutan demi hukum ataukah tidak dapat dilanjutkan lagi seperti konsekuensi pada seponering. Hal tersebut harus diperjelas, jika menelisik dasar penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restroatif ini merujuk pada nilai yang hidup di dalam masyarakat dan bukan karena hal teknis hukum maka konsekuensinya harus disamakan dengan seponering yakni tidak dapat dilanjutkan kembali dengan syarat atau keadaan apapun (ditutup secara permanen) agar keadilan yang ingin dicapai diikuti dengan adanya kepastian hukum pada hilirnya.

Dalam kerangka politik hukum pidana, seyogyanya kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restroatif ini masuk menjadi materi di dalam sebuah UU sebagaiamana materi yang dimuat dalam Pasal 42 ayat (2) dan ayat(3) RUU KUHAP, sehingga kewenangan penghentian penuntutan ini memiliki dasar legalitas yang kuat dengan mempertimbangkan belum disahkannya RUU KUHAP tersebut. 

Pengawasan ketat secara berjenjang perlu terus digalangkan oleh Kejagung RI dalam mengawasi pelaksanaan wewenang ini oleh para Jaksa dilapangan mengingat kewenangan besar ini tak ayal membuka celah transaksional, penyalahgunaan atau korupsi nantinya. 

Penulis adalah Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Halmahera Tengah